Arti sifat malu dalam budaya melayu dan pandangan Islam
Share ilmu- Masyarakat Melayu dikenal sebagai kelompok yang menjunjung tinggi nilai-nilai sopan santun, adat, dan akhlak. Salah satu ciri utama yang melekat kuat dalam diri orang Melayu adalah sifat malu. Sifat ini bukan hanya bagian dari adat-istiadat semata, tetapi juga memiliki akar yang sangat kuat dalam ajaran Islam.
Menariknya,
dalam budaya Melayu, malu bukan hanya dianggap sebagai sikap pribadi, tapi juga
sebagai identitas sosial. Malu menjadi benteng moral yang mengatur perilaku
individu dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, rasa malu dianggap sebagai cermin
kehormatan, baik secara pribadi maupun keluarga.
Malu dalam
Budaya Melayu
Dilansir dari
situs Dinas Kebudayaan Provinsi Kepulauan Riau, Kebudayaan Melayu merupakan
salah satu pilar penopang kebudayaan nasional Indonesia khususnya dan
kebudayaan dunia umumnya, di samping aneka budaya lainnya.
Budaya Melayu
identik dengan agama, bahasa, dan adat-istiadat merupakan integritas yang
solid. Adat Melayu merupakan konsep yang menjelaskan satu keseluruhan cara
hidup Melayu di alam Melayu.
Orang Melayu di
mana juga berada akan menyebut fenomena budaya mereka sebagai “ini adat kaum”
masyarakat Melayu mengatur kehidupan mereka dengan adat agar setiap anggota
adat hidup beradat, seperti adat alam, hukum adat, adat beraja, adat bernegeri,
adat berkampung, adat memerintah, adat berlaki-bini, adat bercakap, dan
sebagainya. Adat adalah fenomena keserumpunan yang mendasari kebudayaan Melayu.
Dikutip dari sumber
yang lain dijelaskan bahwa ciri-ciri dari bangsa Melayu menurut para penguasa
kolonial Belanda, Inggris serta para sarjana asing antara lain sebagai berikut:
1. Seseorang disebut Melayu apabila ia
beragama Islam, berbahasa Melayu dalam kesehariannya, dan beradat istiadat
Melayu
2. Berpijak kepada yang Esa. Artinya,
ia tetap menerima takdir, pasrah, dan selalu bertawakal kepada Allah.
3. Orang Melayu mengutamakan budi dan
bahasa, hal ini menunjukan sopan-santun dan tinggi peradabannya.
4. Orang Melayu mengutamakan pendidikan
dan Ilmu
5. Orang Melayu mementingkan budaya
Melayu, hal ini terungkap pada bercakap tidak kasar, berbaju menutup aurat,
menjauhkan pantang larangan dan dosa, serta biar mati daripada menanggung malu
dirinya atau keluarganya, karena bisa menjatuhkan marwah keturunannya,
sebaliknya tidak dengan kasar mempermalukan orang lain.
6. Orang Melayu mengutamakan musyawarah
dan mufakat sebagai sendi kehidupan sosial. Kondisi ini terlihat pada acara
perkawinan, kematian, selamatan mendirikan rumah, dan lain-lain. Orang Melayu
harus bermusyawarah/ mufakat dengan kerabat atau handai taulan.
7. Orang Melayu ramah dan terbuka
kepada tamu, keramahtamahan dan keterbukaan orang Melayu terhadap segala
pendatang (tamu) terutama yang beragama Islam.
Dari ciri-ciri
tersebut, jelas bahwa sifat malu menjadi bagian penting dalam kehidupan
orang Melayu. Bahkan, ada ungkapan, “lebih baik mati daripada menanggung
malu”, yang menunjukkan betapa tingginya nilai malu dalam pandangan budaya
Melayu.
Malu dalam
Islam
Dalam ajaran
Islam, sifat malu (al-ḥayā’) memiliki posisi yang sangat mulia.
Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Iman dan malu
merupakan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Apabila rasa malu sudah
tidak ada, maka iman pun sirna.” (HR. Al Hakim).
Artinya,
seseorang yang memiliki rasa malu yang tinggi, akan lebih berhati-hati dalam
berperilaku. Malu menjadi penjaga diri agar tidak mudah tergoda melakukan
hal-hal yang menyimpang dari syariat.
Secara umum,
Islam mengenal tiga jenis rasa malu:
1.
Malu kepada Allah, yakni malu
jika meninggalkan perintah-Nya atau melakukan larangan-Nya.
2. Malu kepada sesama manusia, yaitu malu
melakukan sesuatu yang tidak pantas di hadapan orang lain.
3. Malu kepada diri sendiri, yaitu rasa
malu yang lahir dari kesadaran pribadi, yang mendorong seseorang untuk
bertindak sesuai nilai kebenaran.
Dalam budaya
Melayu yang sangat religius, ketiga jenis malu ini sangat dijunjung tinggi, dan
menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan.
Akibat
Hilangnya Sifat Malu
Sayangnya,
perkembangan zaman dan derasnya pengaruh media sosial membuat nilai-nilai ini
mulai luntur, khususnya di kalangan generasi muda. Fenomena seperti kenakalan
remaja, seks bebas, narkoba, hingga kriminalitas
meningkat karena hilangnya benteng malu.
Banyak remaja
dengan mudah menampilkan aib atau perilaku menyimpang di media sosial tanpa
rasa bersalah. Padahal dalam Islam, rasa malu adalah salah satu penjaga akhlak
dan pengendali nafsu. Ketika rasa malu sudah hilang, maka tidak ada lagi
penghalang untuk berbuat buruk.
Malu Sebagai
Mahkota Perempuan
Dalam adat
Melayu yang berlandaskan Islam, perempuan memiliki tempat yang sangat mulia.
Sifat malu bahkan dianggap sebagai mahkota perempuan. Perempuan yang memiliki
rasa malu akan lebih terjaga dalam pergaulan, ucapan, serta penampilan. Jika
budaya malu ini terus dijaga, maka berbagai tindakan yang merugikan perempuan,
seperti pelecehan dan eksploitasi, bisa ditekan.
Sifat malu
dalam budaya Melayu bukanlah simbol kelemahan, melainkan kekuatan yang
bersumber dari iman. Budaya dan ajaran Islam bertemu pada satu titik yang sama:
menjaga kehormatan diri melalui rasa malu.
Sebagai
generasi muda, sudah sepatutnya kita menjadi penjaga dan penerus nilai ini.
Jangan pernah malu untuk menjaga rasa malu, karena dari situlah akhlak dan
keimanan seseorang terbentuk dan dipertahankan.
Sumber:
Jurnal Sosial
Budaya: Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya. “Budaya Malu Cerminan
Bagi Perempuan Melayu” dan situs disbud.kepriprov.go.id.