Rabu, 09 Juli 2025

Sifat Malu Orang Melayu dalam Perspektif Islam



Arti sifat malu dalam budaya melayu dan pandangan Islam


Share ilmu- Masyarakat Melayu dikenal sebagai kelompok yang menjunjung tinggi nilai-nilai sopan santun, adat, dan akhlak. Salah satu ciri utama yang melekat kuat dalam diri orang Melayu adalah sifat malu. Sifat ini bukan hanya bagian dari adat-istiadat semata, tetapi juga memiliki akar yang sangat kuat dalam ajaran Islam.

 

Menariknya, dalam budaya Melayu, malu bukan hanya dianggap sebagai sikap pribadi, tapi juga sebagai identitas sosial. Malu menjadi benteng moral yang mengatur perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, rasa malu dianggap sebagai cermin kehormatan, baik secara pribadi maupun keluarga.

 

Malu dalam Budaya Melayu

Dilansir dari situs Dinas Kebudayaan Provinsi Kepulauan Riau, Kebudayaan Melayu merupakan salah satu pilar penopang kebudayaan nasional Indonesia khususnya dan kebudayaan dunia umumnya, di samping aneka budaya lainnya.

 

Budaya Melayu identik dengan agama, bahasa, dan adat-istiadat merupakan integritas yang solid. Adat Melayu merupakan konsep yang menjelaskan satu keseluruhan cara hidup Melayu di alam Melayu. 

 

Orang Melayu di mana juga berada akan menyebut fenomena budaya mereka sebagai “ini adat kaum” masyarakat Melayu mengatur kehidupan mereka dengan adat agar setiap anggota adat hidup beradat, seperti adat alam, hukum adat, adat beraja, adat bernegeri, adat berkampung, adat memerintah, adat berlaki-bini, adat bercakap, dan sebagainya. Adat adalah fenomena keserumpunan yang mendasari kebudayaan Melayu.

 

Dikutip dari sumber yang lain dijelaskan bahwa ciri-ciri dari bangsa Melayu menurut para penguasa kolonial Belanda, Inggris serta para sarjana asing antara lain sebagai berikut:

 

1.  Seseorang disebut Melayu apabila ia beragama Islam, berbahasa Melayu dalam kesehariannya, dan beradat istiadat Melayu


2.   Berpijak kepada yang Esa. Artinya, ia tetap menerima takdir, pasrah, dan selalu bertawakal kepada Allah.


3. Orang Melayu mengutamakan budi dan bahasa, hal ini menunjukan sopan-santun dan tinggi peradabannya.


4.     Orang Melayu mengutamakan pendidikan dan Ilmu

5.  Orang Melayu mementingkan budaya Melayu, hal ini terungkap pada bercakap tidak kasar, berbaju menutup aurat, menjauhkan pantang larangan dan dosa, serta biar mati daripada menanggung malu dirinya atau keluarganya, karena bisa menjatuhkan marwah keturunannya, sebaliknya tidak dengan kasar mempermalukan orang lain.


6.  Orang Melayu mengutamakan musyawarah dan mufakat sebagai sendi kehidupan sosial. Kondisi ini terlihat pada acara perkawinan, kematian, selamatan mendirikan rumah, dan lain-lain. Orang Melayu harus bermusyawarah/ mufakat dengan kerabat atau handai taulan.


7. Orang Melayu ramah dan terbuka kepada tamu, keramahtamahan dan keterbukaan orang Melayu terhadap segala pendatang (tamu) terutama yang beragama Islam.

 

Dari ciri-ciri tersebut, jelas bahwa sifat malu menjadi bagian penting dalam kehidupan orang Melayu. Bahkan, ada ungkapan, “lebih baik mati daripada menanggung malu”, yang menunjukkan betapa tingginya nilai malu dalam pandangan budaya Melayu.

 

Malu dalam Islam

Dalam ajaran Islam, sifat malu (al-ḥayā’) memiliki posisi yang sangat mulia. Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Iman dan malu merupakan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Apabila rasa malu sudah tidak ada, maka iman pun sirna.” (HR. Al Hakim).

 

Artinya, seseorang yang memiliki rasa malu yang tinggi, akan lebih berhati-hati dalam berperilaku. Malu menjadi penjaga diri agar tidak mudah tergoda melakukan hal-hal yang menyimpang dari syariat.

 

Secara umum, Islam mengenal tiga jenis rasa malu:

1.      Malu kepada Allah, yakni malu jika meninggalkan perintah-Nya atau melakukan larangan-Nya.

2.     Malu kepada sesama manusia, yaitu malu melakukan sesuatu yang tidak pantas di hadapan orang lain.

3.   Malu kepada diri sendiri, yaitu rasa malu yang lahir dari kesadaran pribadi, yang mendorong seseorang untuk bertindak sesuai nilai kebenaran.


Dalam budaya Melayu yang sangat religius, ketiga jenis malu ini sangat dijunjung tinggi, dan menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan.

 

Akibat Hilangnya Sifat Malu

Sayangnya, perkembangan zaman dan derasnya pengaruh media sosial membuat nilai-nilai ini mulai luntur, khususnya di kalangan generasi muda. Fenomena seperti kenakalan remaja, seks bebas, narkoba, hingga kriminalitas meningkat karena hilangnya benteng malu.

 

Banyak remaja dengan mudah menampilkan aib atau perilaku menyimpang di media sosial tanpa rasa bersalah. Padahal dalam Islam, rasa malu adalah salah satu penjaga akhlak dan pengendali nafsu. Ketika rasa malu sudah hilang, maka tidak ada lagi penghalang untuk berbuat buruk.

 

Malu Sebagai Mahkota Perempuan

Dalam adat Melayu yang berlandaskan Islam, perempuan memiliki tempat yang sangat mulia. Sifat malu bahkan dianggap sebagai mahkota perempuan. Perempuan yang memiliki rasa malu akan lebih terjaga dalam pergaulan, ucapan, serta penampilan. Jika budaya malu ini terus dijaga, maka berbagai tindakan yang merugikan perempuan, seperti pelecehan dan eksploitasi, bisa ditekan.

 

Sifat malu dalam budaya Melayu bukanlah simbol kelemahan, melainkan kekuatan yang bersumber dari iman. Budaya dan ajaran Islam bertemu pada satu titik yang sama: menjaga kehormatan diri melalui rasa malu.

 

Sebagai generasi muda, sudah sepatutnya kita menjadi penjaga dan penerus nilai ini. Jangan pernah malu untuk menjaga rasa malu, karena dari situlah akhlak dan keimanan seseorang terbentuk dan dipertahankan.

 

Sumber: 

Jurnal Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya. “Budaya Malu Cerminan Bagi Perempuan Melayu” dan situs disbud.kepriprov.go.id.

Pacaran dalam Pandangan Psikologi dan Hukum Islam



Share ilmu- Masa remaja ialah istilah yang disematkan untuk mereka yang berumur di atas 10 atau 12 tahun. Tingkahnya yang penuh energik sering mencari ciri untuk mengenalinya. Maka tidak heran ketika masih muda jiwa rasa penasaran terhadap suatu hal selalu muncul dalam diri kita.


Berkaitan dengan masa remaja tentunya terjadi pula perubahan pola fikir dari anak-anak ke masa dewasa. Dimana, setiap individu mulai mengerti rasa tertarik dan empati terhadap lawan jenis. Sehingga pada masa remaja ini, banyak mereka yang mulai mengenal hubungan kisah percintaan atau bisa disebut dengan pacaran.

 

Mengenal Pacaran dan Tujuannya

Siapa yang tidak mengetahui pacaran atau bahkan kalian merupakan salah satu pelakunya?. Nah, Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pacar adalah teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih yang belum terikat pernikahan.


Lalu apa arti pacaran? Pacaran secara bahasa berarti saling mengasihi atau saling mengenal. Dalam pengertian luasnya pacaran berarti upaya mengenal karakter seorang yang dicintai dengan cara mengadakan tatap muka.  


Atau lebih singkatnya, Pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang bertujuan untuk mencari kecocokan untuk berkeluarga atau menikah. Namun, dalam praktiknya, pacaran justru sering menimbulkan dampak negatif. Tak sedikit kasus pergaulan bebas, penyimpangan sosial, bahkan perzinahan yang berawal dari hubungan pacaran.

 

Pandangan Psikologi terhadap Pacaran

Lantas bagaimana pandangan Psikologi menanggapi kasus pacaran yang terjadi dikalangan anak-anak muda? Ada hal menarik jika pacaran dilihat dari pandangan Psikologi. 


Dalam perspektif psikologi pacaran sendiri dapat menimbulkan konsentrasi yang baik dan juga bisa menimbulkan konsentrasi yang buruk. Selain itu, pacaran juga bisa mengganggu bahkan mempengaruhi kesehatan fisik, gangguan mental dan lain-lain.


Namun, hal itu terjadi tergantung dari hubungan pasangan yang dijalani. Sehingga dari perspektif psikologi ini dapat disimpulkan bahwa pacaran juga bisa mengganggu konsentrasi belajar para remaja.


Pacaran kerap kali mengganggu konsentrasi belajar karena pikiran remaja cenderung dipenuhi bayang-bayang orang yang dicintainya. Selain itu, ketika hubungan tersebut mengalami konflik, tidak sedikit remaja yang mengalami gangguan mental, seperti stres berat atau depresi. 


Mereka merasa kehilangan seseorang yang dianggap sebagai sumber kebahagiaan, padahal sejatinya kebahagiaan sejati bersumber dari dalam diri sendiri.


Secara umum, dapat disimpulkan bahwa pacaran lebih banyak menimbulkan dampak negatif dibandingkan manfaatnya. 


Bisa dikatakan bahwa pacaran dalam pandangan psikologi 5 %  nya berdampak positif, namun 95% justru berdampak negatif terhadap perkembangan emosional dan psikologis remaja. Sungguh perbandingan yang jauh sekali. Lantas bagaimana pandangan Islam mengenai pacaran?

 

Pacaran dalam Pandangan Islam

Dalam ajaran Islam sebenarnya telah banyak dijelaskan terkait batasan-batasan dalam pergaulan antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, adanya larangan untuk mendekati zina. Pacaran merupakan jalan menuju zina yang nyata. Ia merupakan pintu pembuka dari perbuatan zina.


Dalam Al-Qur'an surat Al-Isra ayat 32 telah dijelaskan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala melarang dengan tegas untuk menjauhi perbuatan zina.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا

Artinya: Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk.


Ayat diatas bukan hanya melarang zina, tapi lebih dari itu yakni melarang untuk mendekati zina. Kalimat ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya menjaga umatnya dari perbuatan dosa besar seperti zina, tetapi juga dari segala jalan, celah, dan sebab-sebab yang bisa mengarah ke perbuatan zina.


Pacaran salah satu contohnya, pada dasarnya pacaran sudah dianggap suatu  perilaku  atau  keputusan  yang  salah. Namun, karena adanya  alasan yang sengaja diciptakan sehingga terlaksanalah suatu hubungan spesial antara muslim dan muslimah.


Sepasang kekasih yang menjalin hubungan pacaran biasanya memadu kasih dan berkhalwat atau berdua-duaan. Hal inilah yang memicu terjadinya zina. Zina tidak hanya sebatas melakukan hubungan suami istri semata, bahkan saling berpandangan atau saling menyentuh yang bukan mahramnya saja sudah termasuk perbuatan zina.


Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam. bersabda: "Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina, dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau yang mengingkari yang demikian."


Hadis ini mempertegas bahwa zina tidak hanya berbentuk hubungan fisik, tetapi juga mencakup segala aktivitas yang melibatkan anggota tubuh.


Dari penjelasan diatas dapat kita pahami bahwa pacaran, baik ditinjau dari segi psikologi maupun dari sisi ajaran Islam, memiliki lebih banyak mudarat daripada manfaat. Dalam Islam, hubungan antara laki-laki dan perempuan yang dilandasi cinta kasih sebaiknya dijalani melalui proses yang sah dan terhormat, yaitu pernikahan.


Sebagai generasi muda, penting bagi kita untuk menjaga diri dan menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat menjurus kepada perbuatan tercela, termasuk pacaran.

 

Sumber

Shatuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Perbandingan Mazhab, Nathiqiyyah: Jurnal Psikologi Islam, Detik. com dan Kompasiana.com. 

Penyakit Fisik Berawal dari Sakitnya Hati, Konsep Sehat dalam Islam



Share ilmu- Manusia sejatinya memiliki 3 komponen penting yang harus dijaga, yakni akal (Intelektual), Fisik (Jasmani) dan Hati (Rohani). Ketiga komponen tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan saling berkaitan serta memainkan peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia.


Akal adalah kemampuan berpikir, bernalar, dan memahami. Akal dapat dijaga dengan menambah pengetahuan, seperti membaca yang berguna untuk menstimulasi otak.


Hati berkaitan dengan aspek perasaan, nilai-nilai, keyakinan, dan spiritualitas. Hati bisa dijaga dengan beribadah yang memberikan rasa tenang dan damai.


Sementara itu, fisik atau jasmani berkaitan erat dengan kesehatan tubuh, termasuk organ-organ dan sistem tubuh manusia.


Fisik dapat dijaga dengan mengonsumsi makanan bergizi seimbang, berolahraga secara teratur, istirahat yang cukup dan selalu menjaga kebersihan.


Kesehatan Tubuh dan Akidah dalam Islam
Berkaitan dengan kesehatan tubuh manusia, konsep dasar kesehatan dan pengobatan dalam Islam berasal dari keyakinan seorang mukmin bahwa segala penyakit dan gangguan hanya dapat disembuhkan dengan izin Allah.



Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَاِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ ۙ

“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy Syu’ara’ 26: 80)


Jika Allah menginginkan, maka meskipun metode dan cara yang digunakan sangat sederhana penyakit itu pasti sembuh dengan izin Allah.


Oleh karena itulah, Islam memberikan pedoman pengobatan dan kesehatan yang berlandaskan Al-Qur’an dan sunah Rasulullah ﷺ yang keduanya berdasarkan pada akidah dan tauhid.


Sakit Sebagai Karunia dan Penggugur Dosa
Jika tubuh dalam kondisi sehat, seseorang bisa melakukan berbagai jenis aktivitas. Namun demikian, meskipun hidup sehat merupakan impian bagi semua orang ada kalanya manusia harus berhadapan dengan kondisi sakit.


Saat seperti ini, ruang gerak manusia menjadi sangat terbatas terutama untuk melakukan ibadah. Pada saat ini kita merasa betapa berharganya nikmat kesehatan yang diberikan oleh Allah.


Oleh karena itu, kesehatan merupakan karunia Allah yang wajib disyukuri manusia. Meskipun membatasi kebebasan beribadah dan melakukan amal kebajikan bagi orang yang beriman sakit justru menjadi anugerah dari Allah.


Bagi mereka, menerima sakit adalah bentuk kesempatan dari Allah agar dapat lebih dekat dengan-Nya. Melalui sakit yang dihadapinya orang beriman dapat menikmati pahala sabar.


Melalui sakit pula, seorang beriman mendapat fasilitas luar biasa berupa gugurnya dosa-dosa, seperti bergugurannya daun-daun dari pohonnya


Rasulullah ﷺ bersabda,

“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR. Bukhari no. 5660 dan Muslim no. 2571)


Namun, meskipun sakit bisa menjadi satu dari berbagai anugerah Allah yang diberikan agar seseorang bisa mendapatkan pahala ketangguhan dan penghapusan dosa-dosanya.


Hidup dalam keadaan sehat memang terasa lebih nyaman, terutama untuk bisa semakin meningkatkan ibadah dan ketaatan kepada-Nya.


Hati yang Sehat, Kunci Kesehatan Fisik
Untuk itu, ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh seseorang agar dapat menikmati kehidupan yang sehat. Salah satu upaya yang penting adalah menjaga hati tetap sehat, karena penyakit fisik sering kali berawal dari hati yang tersakiti.

Seseorang sering dihantui perasaan takut dan cemas luar biasa. Saat seperti ini, berhati-hatilah. Rasa was-was dan cemas sengaja diembuskan oleh setan ke dalam hati manusia.


Tujuannya adalah agar keimanan manusia goyah. Paling sering, setan mengembuskan rasa cemas ke dalam dada manusia terkait urusan rezeki dan materi.


Setan menumbuhkan rasa takut tidak kebagian rezeki, kesedihan saat kehilangan rezeki, dan lain-lain kepada manusia. Kecemasan yang terus-menerus dan berlanjut dapat menimbulkan penyakit hati yang akut.


Ibnu Qayyim Al Jauziyah menyatakan bahwa penyakit hati itu jauh lebih berbahaya dibanding penyakit raga. Penyakit fisik berawal dari sakitnya hati.


Misalnya, orang yang menderita stroke, tekanan darah tinggi, diabetes, tumor, kanker, serta penyakit kronis lainnya, sebenarnya dimulai dari adanya sifat mudah marah, sering kesal, dan iri terhadap orang lain.


Sifat-sifat itu tidak lain bersumber dari hati yang sakit. Lantas, bagaimana saat hati menjadi sakit? Ibnu Qayyim Al Jauziyah menjelaskan bahwa sakitnya hati sebagaimana sakitnya badan juga. Dia bisa diobati.


Apakah obatnya? Tobat dan menyesalinya. Hati juga bisa kotor seperti kotornya pakaian. Cara membersihkannya adalah dengan zikrullah.



Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ ۗ

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan zikrullah. Ingatlah, hanya dengan zikrullah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’du 13: 28)


Hati yang penuh ketenteraman adalah hati yang sehat. Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa penyakit fisik berawal dari sakitnya hati,


maka sehatnya jasad manusia juga bersumber dari sehatnya hati. Sebuah hati yang sehat sangat berpengaruh besar terhadap kesehatan tubuh secara keseluruhan.


Rasulullah ﷺ bersabda,

“Ketahuilah bahwa dalam diri manusia terdapat segumpal daging. Jika daging tersebut baik, baiklah seluruh tubuhnya. Jika daging tersebut buruk, buruklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa daging itu adalah hati (qalbu).” (HR. AI Bukhari)


Dalam hadis tersebut disebutkan bahwa jika hati seseorang baik, maka seluruh tubuhnya juga akan baik. Sementara itu, jika hati buruk maka seluruh tubuhnya akan ikut terkena dampaknya.


Oleh karena itu, konsep sehat dalam Islam itu dimulai dari hati yang baik dan sehat. Hati yang sehat adalah hati yang mengerti dan memiliki ikatan dekat dengan Allah.


Agar mendapatkan hati yang demikian, seseorang diwajibkan untuk selalu berprasangka baik terhadap Allah, terhadap makhluk-Nya, dan terhadap setiap peristiwa yang dialami.


Islam sebagai Pedoman Kesehatan Mental
Dengan menerapkan nilai dan keyakinan dari agama Islam, hal ini bisa membantu dalam menjaga kesehatan mental seseorang yang sedang tidak stabil.


Kondisi mental yang buruk biasanya dimulai dari hati yang terluka. Hati yang terluka bisa disembuhkan dengan mengingat Allah, salah satunya dengan membaca Al-Qur’an.


Al-Qur’an bisa menjadi panduan bagi seseorang yang sedang mengalami tekanan emosional, dengan harapan dapat meningkatkan kesehatan mental dan kualitas hidup.

Depresi adalah salah satu gangguan mental yang sering dialami oleh banyak orang di berbagai belahan dunia. Kecelakaan atau peristiwa buruk dalam hidup sering menjadi penyebab utama timbulnya depresi.


Agama Islam memiliki peran penting dalam membimbing umatnya menghadapi situasi sulit. Hal ini sangat membantu dalam mencegah serta mengatasi gejala depresi.


Beberapa ayat dalam Al-Qur’an, ketika kita memahami artinya secara benar bisa membantu meningkatkan kualitas pikiran dan jiwa kita.


فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (5) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (6)

“Maka sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan”. (QS. Al-Insyirah 94: 5-6)


Orang yang mengalami gangguan kecemasan biasanya berpikir seperti, “Saya merasa tidak bisa lagi menghadapinya”, “Tampaknya apa yang saya lakukan selalu tidak terlihat oleh orang lain”.


Banyak sekali beban dan tangggung jawab ini”, “Hidup ini terlalu sulit” atau “Saya tidak memiliki siapapun”.


Dengan mengingat bahwa Allah selalu ada dan meyakini firman Allah bahwa setiap kesulitan ada kemudahan yang berarti setiap permasalahan pasti ada solusinya, maka hal tersebut akan membantu menyingkirkan pikiran-pikiran buruk diatas.


Sumber: 

Dr. Zaidul Akbar, 200 Resep Sehat JSR dan Mutia Kintan Utami, https://fk.uii.ac.id/islam-sebagai-pedoman-sehat-fisik-dan-mental/.

Selasa, 08 Juli 2025

Antara Kopi dan Iman: Menemukan Filosofi dalam Secangkir Minuman

 


Filosofi Secangkir Kopi dalam Konteks Keimanan Seseoarang


Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar kata "kopi"? Tentu saja, yang terpikir adalah sebuah minuman yang banyak digemari dari kalangan muda hingga tua. Kopi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup modern, berfungsi sebagai teman bersantai, maupun pemicu diskusi produktif.


Kopi adalah tanaman hasil pertanian yang bijinya diolah menjadi sebuah minuman. Dalam berbagai bahasa kopi dikenal dengan nama yang berbeda, dalam bahasa Belanda disebut koffie, bahasa Inggris disebut coffee, dan dalam bahasa Arab disebut qahwa yang berarti 'kuat'.

 

Meskipun rasanya pahit, kopi memiliki banyak manfaat kesehatan yang sayang untuk dilewatkan. Manfaat kopi tidak hanya sekadar mengusir kantuk, tetapi juga dapat membantu memelihara kesehatan tubuh. Ini karena kopi kaya akan nutrisi seperti kafein, folat, dan riboflavin.

 

Secara umum, kopi aman bagi orang dewasa dan tidak merugikan kesehatan. Namun, efek samping kopi dapat muncul jika dikonsumsi dalam jumlah berlebihan, yaitu lebih dari empat cangkir per hari.

 

Efek samping yang mungkin timbul antara lain insomnia, sering buang air kecil, gelisah, denyut jantung cepat, hingga gangguan pencernaan.

 

Kopi lebih dari Sekadar Minuman

Kopi lahir sebagai minuman untuk menemani waktu bersantai terutama di sore. Meneguk secangkir kopi di sore hari sambil menikmati pisang goreng memang terasa nikmat.

 

Aktivitas minum kopi juga bisa menjadi ruang diskusi untuk bertukar gagasan dan merencanakan pergerakan bersama, seperti pertemuan bisnis atau diskusi antarmahasiswa.

 

Tidak heran pula jika dari pertemuan-pertemuan di kedai kopi ini lahir motivasi atau pengingat untuk menjalani kehidupan. Seperti yang pernah diucapkan oleh Akhi Arifin Naswir, "Kopi ini akan terasa pahit jika tidak ditambahkan gula. Begitu pula hidup, jika tidak ditambahkan atau diisi dengan iman, maka hidup akan terasa pahit atau hampa."

 

Sungguh filosofi yang dapat memotivasi kita untuk meningkatkan keimanan kepada Allah Subhanahu wa a’ala. Berkaitan dengan keimanan, ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 15:

 

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الصّٰدِقُوْنَ

 

Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin (yang sebenarnya) hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang benar.

 

Dilansir dari NU Online, ayat ini menjelaskan tentang kesempurnaan iman. Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah, meyakini semua sifat-sifat-Nya, dan membenarkan apa yang disampaikan oleh Rasul-Nya.

 

Kemudian, seiring berjalannya waktu, mereka tidak sedikit pun ragu dan tidak goyah pendiriannya. Mereka juga berjihad dengan menyerahkan harta dan mengorbankan jiwa di jalan Allah. Merekalah orang-orang yang benar dalam ucapan dan perbuatan mereka.

 

Iman dalam Kehidupan Sehari-hari

Dilansir dari Detik Hikmah, Menukil dari Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani susunan Dr. Said bin Musfir Al-Qahthani, ada yang memaknai iman sebagai amal, pernyataan dengan lisan, dan keyakinan.

 


Syaikh Abdul Qadir Jailani sendiri mengatakan bahwa iman merupakan pernyataan dengan lisan, pengetahuan dengan ketenangan hati, dan perbuatan dengan anggota badan.

 

Menurut buku Pendidikan Agama Islam: Materi Pembelajaran Perguruan Tinggi oleh Malikus Solekha, mujahid dakwah Hasan Al-Banna menyebutkan beberapa contoh iman dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:

 

Salat: Ibadah utama yang menjadi pondasi umat Islam. Dengan salat, seorang Muslim membuktikan keimannya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala

 

Zakat: Memberi sebagian harta kepada yang membutuhkan. Tindakan ini dilakukan atas dasar iman dan rasa tanggung jawab sosial.

 

Puasa: Menjalankan ibadah puasa selama Ramadan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

 

Akhlak dan Moralitas: Muslim yang beriman memiliki akhlak dan moralitas yang terjaga. Mereka bersikap jujur, adil, dan menghargai satu sama lain.

 

Ketahanan dalam Kesulitan: Saat Muslim dihadapkan dengan cobaan atau kesulitan, mereka yang beriman akan sabar dan berserah diri kepada Sang Khalik.

 

Itulah beberapa makna iman yang mungkin belum banyak kita ketahui. Berangkat dari filosofi secangkir kopi dalam konteks keimanan ini, maka hendaknya kita meningkatkan keimanan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari,

 

karena dalam pendidikan Islam, iman tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga bersifat praktis. Artinya, iman tidak hanya sekedar diyakini dalam hati tetapi juga kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Sumber:

NU Online, Detik Hikmah dan Mapana News.