Rabu, 09 Juli 2025

Sifat Malu Orang Melayu dalam Perspektif Islam



Arti sifat malu dalam budaya melayu dan pandangan Islam


Share ilmu- Masyarakat Melayu dikenal sebagai kelompok yang menjunjung tinggi nilai-nilai sopan santun, adat, dan akhlak. Salah satu ciri utama yang melekat kuat dalam diri orang Melayu adalah sifat malu. Sifat ini bukan hanya bagian dari adat-istiadat semata, tetapi juga memiliki akar yang sangat kuat dalam ajaran Islam.

 

Menariknya, dalam budaya Melayu, malu bukan hanya dianggap sebagai sikap pribadi, tapi juga sebagai identitas sosial. Malu menjadi benteng moral yang mengatur perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, rasa malu dianggap sebagai cermin kehormatan, baik secara pribadi maupun keluarga.

 

Malu dalam Budaya Melayu

Dilansir dari situs Dinas Kebudayaan Provinsi Kepulauan Riau, Kebudayaan Melayu merupakan salah satu pilar penopang kebudayaan nasional Indonesia khususnya dan kebudayaan dunia umumnya, di samping aneka budaya lainnya.

 

Budaya Melayu identik dengan agama, bahasa, dan adat-istiadat merupakan integritas yang solid. Adat Melayu merupakan konsep yang menjelaskan satu keseluruhan cara hidup Melayu di alam Melayu. 

 

Orang Melayu di mana juga berada akan menyebut fenomena budaya mereka sebagai “ini adat kaum” masyarakat Melayu mengatur kehidupan mereka dengan adat agar setiap anggota adat hidup beradat, seperti adat alam, hukum adat, adat beraja, adat bernegeri, adat berkampung, adat memerintah, adat berlaki-bini, adat bercakap, dan sebagainya. Adat adalah fenomena keserumpunan yang mendasari kebudayaan Melayu.

 

Dikutip dari sumber yang lain dijelaskan bahwa ciri-ciri dari bangsa Melayu menurut para penguasa kolonial Belanda, Inggris serta para sarjana asing antara lain sebagai berikut:

 

1.  Seseorang disebut Melayu apabila ia beragama Islam, berbahasa Melayu dalam kesehariannya, dan beradat istiadat Melayu


2.   Berpijak kepada yang Esa. Artinya, ia tetap menerima takdir, pasrah, dan selalu bertawakal kepada Allah.


3. Orang Melayu mengutamakan budi dan bahasa, hal ini menunjukan sopan-santun dan tinggi peradabannya.


4.     Orang Melayu mengutamakan pendidikan dan Ilmu

5.  Orang Melayu mementingkan budaya Melayu, hal ini terungkap pada bercakap tidak kasar, berbaju menutup aurat, menjauhkan pantang larangan dan dosa, serta biar mati daripada menanggung malu dirinya atau keluarganya, karena bisa menjatuhkan marwah keturunannya, sebaliknya tidak dengan kasar mempermalukan orang lain.


6.  Orang Melayu mengutamakan musyawarah dan mufakat sebagai sendi kehidupan sosial. Kondisi ini terlihat pada acara perkawinan, kematian, selamatan mendirikan rumah, dan lain-lain. Orang Melayu harus bermusyawarah/ mufakat dengan kerabat atau handai taulan.


7. Orang Melayu ramah dan terbuka kepada tamu, keramahtamahan dan keterbukaan orang Melayu terhadap segala pendatang (tamu) terutama yang beragama Islam.

 

Dari ciri-ciri tersebut, jelas bahwa sifat malu menjadi bagian penting dalam kehidupan orang Melayu. Bahkan, ada ungkapan, “lebih baik mati daripada menanggung malu”, yang menunjukkan betapa tingginya nilai malu dalam pandangan budaya Melayu.

 

Malu dalam Islam

Dalam ajaran Islam, sifat malu (al-ḥayā’) memiliki posisi yang sangat mulia. Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Iman dan malu merupakan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Apabila rasa malu sudah tidak ada, maka iman pun sirna.” (HR. Al Hakim).

 

Artinya, seseorang yang memiliki rasa malu yang tinggi, akan lebih berhati-hati dalam berperilaku. Malu menjadi penjaga diri agar tidak mudah tergoda melakukan hal-hal yang menyimpang dari syariat.

 

Secara umum, Islam mengenal tiga jenis rasa malu:

1.      Malu kepada Allah, yakni malu jika meninggalkan perintah-Nya atau melakukan larangan-Nya.

2.     Malu kepada sesama manusia, yaitu malu melakukan sesuatu yang tidak pantas di hadapan orang lain.

3.   Malu kepada diri sendiri, yaitu rasa malu yang lahir dari kesadaran pribadi, yang mendorong seseorang untuk bertindak sesuai nilai kebenaran.


Dalam budaya Melayu yang sangat religius, ketiga jenis malu ini sangat dijunjung tinggi, dan menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan.

 

Akibat Hilangnya Sifat Malu

Sayangnya, perkembangan zaman dan derasnya pengaruh media sosial membuat nilai-nilai ini mulai luntur, khususnya di kalangan generasi muda. Fenomena seperti kenakalan remaja, seks bebas, narkoba, hingga kriminalitas meningkat karena hilangnya benteng malu.

 

Banyak remaja dengan mudah menampilkan aib atau perilaku menyimpang di media sosial tanpa rasa bersalah. Padahal dalam Islam, rasa malu adalah salah satu penjaga akhlak dan pengendali nafsu. Ketika rasa malu sudah hilang, maka tidak ada lagi penghalang untuk berbuat buruk.

 

Malu Sebagai Mahkota Perempuan

Dalam adat Melayu yang berlandaskan Islam, perempuan memiliki tempat yang sangat mulia. Sifat malu bahkan dianggap sebagai mahkota perempuan. Perempuan yang memiliki rasa malu akan lebih terjaga dalam pergaulan, ucapan, serta penampilan. Jika budaya malu ini terus dijaga, maka berbagai tindakan yang merugikan perempuan, seperti pelecehan dan eksploitasi, bisa ditekan.

 

Sifat malu dalam budaya Melayu bukanlah simbol kelemahan, melainkan kekuatan yang bersumber dari iman. Budaya dan ajaran Islam bertemu pada satu titik yang sama: menjaga kehormatan diri melalui rasa malu.

 

Sebagai generasi muda, sudah sepatutnya kita menjadi penjaga dan penerus nilai ini. Jangan pernah malu untuk menjaga rasa malu, karena dari situlah akhlak dan keimanan seseorang terbentuk dan dipertahankan.

 

Sumber: 

Jurnal Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya. “Budaya Malu Cerminan Bagi Perempuan Melayu” dan situs disbud.kepriprov.go.id.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar